Aku mungkin kembali pada secarik kertas yang telah lama aku tinggalkan ini. Selama bertahun-tahun meneguk segala jenis rasa yang ditawarkan lidah sebagai pengecap, nyatanya hati lebih mampu bersua memecah setiap masalah dengan sudut pandang rasa yang berbeda. Tulisanku tak pernah begitu panjang hingga layak untuk dijadikan sebagai wacana yang menarik. Orang bilang aku penuh teka-teki, dingin, dan kaku. Segala yang aku tulis sangat sulit dipahami karenanya aku begitu jatuh cinta pada irama kata yang memabukan pembacanya. Aku tidak suka ditebak, jadi selamilah caraku menyampaikan bait demi bait yang telah lama kau tunggu itu.
Detik ini, entah bagaimana baling-baling di sudut hatiku mulai bengkok tak karuan dan menyebar ke segala arah dengan membawa serpihan kaca yang terus mengetuk goresan di dalam sana. Semua yang sudah disusun rapi jatuh bagai tak pernah diperhatikan pemiliknya. Canggung. Sang pemilik dan yang dimilikinya pun beradu keram hingga menimbulkan arang-arang perang. Jarak begitu kentara meski tak juga bersuara. Hanya tetesan merah pekat yang menuju genangan yang turut menggenggam hasrat setelah usai.
Usailah..
Ini begitu dingin.
cicit's world
Minggu, 15 Juli 2018
Sabtu, 17 Juni 2017
Am I Wrong?
Today
Aku begitu mencintainya, dulu.
Ketika pertama kaki melangkah bermetamorfosa menjadi gadis remaja yang lebih matang. Putih abu-abu.
Mata Asia hitam legam seterik matahari saat itu begitu meyakinkan, memaksa hati terketuk dengan perlahan namun pasti. Aku jatuh hati. Senyum itu, malu-malu tapi mau, begitu melekat meyakinkanku bahwa masa SMA ini akan penuh kebahagiaan. Tempat baru, asing, namun kehadirannya membuat perasaan risau itu sedikit menguap. Mengudara dalam asa.
Ku ingat dia sebagai penyemangat baru kala itu di pulau ini. Tempatku menemukannya diantara puluhan lelaki yang menyapa layaknya pujangga. Setelahnya aku tahu bahwa 'aku' tak hanya bagian dari masa indah di tahun terakhirnya sebagai siswa. First Love. Mendewaku bak dewi yang ia takkan mampu hidup tanpaku. Tapi sungguh. Itu semua kini hanya sekedar bagian masa lalu. Kepingan ego yang masih terus mengusik lara di batas kalbu. Kami berpisah. Mungkin aku tahu sedikit risalah perpisahan ini, sebut saja salahku. Aku begitu sibuk mengejar mimpi, acuh tak perduli, meski ada hati yang menunggu penuh harap untuk sekedar ku sapa barang semenit saja. Ia memutuskan untuk menyerah. Pasrah pada pilihanku mengakhiri segalanya.
Seperti ribuan guntur menghadang hatiku saat itu. Hancur. Luluh lantak tak berbentuk.
Sekali lagi aku coba menopang pilu dengan menjunjung segores senyum diantara luka. Berusaha keras menjadi karang yang tegar dan kokoh meski diterjang sang penguasa lautan. Tapi ingatkah hukum pasti ilmu pengetahuan alam? Karang sekalipun akan terkikis jika ombak menerpa terus-menerus, kan? Kinilah kikisan itu mulai terpajang mata. Ketika ku putuskan untuk tetap sendiri tanpa membuka hatiku lagi pada siapapun, ia mengubah arah. Aku sangat mengerti hak untuk memilih pada sebuah penantian bertahan atau mencari alasan bahagianya yang baru, mutlak adalah hak semua orang. Termasuk dia. Yang telah melepas janji bersanding dalam suka duka. Kecewakah aku? Ya. Namun pedih ini tak sebanding kesabarannya padaku dalam kurun waktu 2 tahun bersama. Ia terluka begitu parah hingga mencongkakkan hatinya yang selembut sutra.
Kutipan cinta sederhana, "Hanya orang yang patah hati begitu dalam yang mampu mencintai seseorang begitu cepat setelahnya. Dan saat hatinya pulih. Ia akan tahu bahwa hatinya merindu pada kesalahan yang sama."
Tidak.
Tidak semudah itu kutipan sepertinya meracuni pikiranku. Aku tegar. Tetap dalam penungguanku yang tak kian menghasil buah. Ia tegaskan untuk lekas menjaga jarak, menjauh dari pandangan bahkan hidupnya. Hatinya telah memiliki kunci yang baru. Menyakitkan? Tidak. Karena aku turut andil dalam sikap menyebalkannya saat ini. Aku mengerti. Aku menerimanya dengan harapan ia akan kembali bahagia meski bukan aku lagi alasannya nanti.
Berbulan-bulan bahkan telah hampir menahun, ketika lubang di hatiku hampir lunas ku tambal sendiri dengan tangisan-tangisan hening sepanjang malam. Pagi ini, pukul 10 pagi, aku melihatnya duduk di tempat yang sama saat ia menyatakan isi hatinya 3 tahun silam. Hatika berdegup memaksa untuk segera pergi dari kesalahan mataku sendiri. Takdir kembali mempertemukan kami sekali lagi. Ia berbusana polo shirt abu-abu yang dulu sangat ku puja ketika ia kenakan warna itu.
Tuhan.. meski jarak kami masih begitu jauh, aku tahu itu dia. Seseorang yang telah lama mampu aku hindari kehadirannya. Ia tak melihatku, entah karena masker udara yang aku kenakan menutupi sebagian wajahku atau memang ia sengaja mengalihkan matanya. Tak masalah bagiku. Selama masih ada senyum disana meski bukan untukku.
Telah begitu keras ku paksa hati untuk kembali jatuh cinta. Setidaknya beberapa kesempatan lagi akan ku tuai bahagiaku sendiri bersama pria lain. Lantas mengapa kau goyahkan benteng yang telah aku bangun sedemikian rupa, Tuhan? Biarkan aku bahagia seperti ia mampu bahagia tanpaku.
Sabtu, 17 Juni 2017
Note:
Ia yang menunggumu begitu sabar.
Mencintaimu begitu ikhlas.
Berusaha selalu ada dan menyapa.
Jagalah.
Karena nanti saat ia temukan lelah.
Kamu akan merindukan segalanya.
Kamis, 15 Juni 2017
"That's What I Like"
Bruno Mars
"That's What I Like"
Hey, hey, hey
I got a condo in Manhattan
Baby girl, what's hatnin'?
You and your ass invited
So gon' and get to clappin'
Go pop it for a player
Pop, pop it for me
Turn around and drop it for a player
Drop, drop it for me
I'll rent a beach house in Miami
Wake up with no jammies (Nope)
Lobster tail for dinner
Julio serve that scampi (Julio!)
You got it if you want it
Got, got it if you want it
Said you got it if you want it
Take my wallet if you want it now
Jump in the Cadillac, girl, let's put some miles on it
Anything you want, just to put a smile on it
You deserve it baby, you deserve it all
And I'm gonna give it to you
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
I'm talkin' trips to Puerto Rico
Say the word and we go
You can be my freaka
Girl, I'll be a fleeko, mamacita
I will never make a promise that I can't keep
I promise that your smile ain't gon' never leave
Shopping sprees in Paris
Everything 24 karats
Take a look in that mirror
Now tell me who's the fairest
Is it you? (is it you?) Is it me? (is it me?)
Say it's us (say it's us) and I'll agree, baby
Jump in the Cadillac, girl, let's put some miles on it
Anything you want, just to put a smile on it
You deserve it baby, you deserve it all
And I'm gonna give it to you
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
[Bridge]
If you say you want a good time
Well here I am baby, here I am baby
Talk to me, talk to me, talk to me
Tell me what's on your mind (what's on your mind)
If you want it, girl come and get it
All this is here for you
Tell me, baby, tell me, tell me, baby
What you tryna do
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night (Sex by the fire at night)
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
I got a condo in Manhattan
Baby girl, what's hatnin'?
You and your ass invited
So gon' and get to clappin'
Go pop it for a player
Pop, pop it for me
Turn around and drop it for a player
Drop, drop it for me
I'll rent a beach house in Miami
Wake up with no jammies (Nope)
Lobster tail for dinner
Julio serve that scampi (Julio!)
You got it if you want it
Got, got it if you want it
Said you got it if you want it
Take my wallet if you want it now
Jump in the Cadillac, girl, let's put some miles on it
Anything you want, just to put a smile on it
You deserve it baby, you deserve it all
And I'm gonna give it to you
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
I'm talkin' trips to Puerto Rico
Say the word and we go
You can be my freaka
Girl, I'll be a fleeko, mamacita
I will never make a promise that I can't keep
I promise that your smile ain't gon' never leave
Shopping sprees in Paris
Everything 24 karats
Take a look in that mirror
Now tell me who's the fairest
Is it you? (is it you?) Is it me? (is it me?)
Say it's us (say it's us) and I'll agree, baby
Jump in the Cadillac, girl, let's put some miles on it
Anything you want, just to put a smile on it
You deserve it baby, you deserve it all
And I'm gonna give it to you
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
[Bridge]
If you say you want a good time
Well here I am baby, here I am baby
Talk to me, talk to me, talk to me
Tell me what's on your mind (what's on your mind)
If you want it, girl come and get it
All this is here for you
Tell me, baby, tell me, tell me, baby
What you tryna do
Gold jewelry shining so bright
Strawberry champagne on ice
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Sex by the fire at night (Sex by the fire at night)
Silk sheets and diamonds all white
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
Lucky for you, that's what I like, that's what I like
[http://www.azlyrics.com]
Terekspos Pilar
Aku merasa sepi. Kadang perasaanku selucu ini ketika logika memaksaku mengakui bahwa aku tidak sendirian, begitu banyak orang dan hiruk pikuk dunia menemani hariku dengan setia. Tuhan telah memberiku keluarga yang utuh mencintaiku, teman-teman yang begitu baik mendukung segala niat baikku melangkah maju tanpa perduli sebagian dari diriku merintih. Ingin pulang. Kembali pada alam. Takdir memang sulit di tebak bahkan untuk menerka sedikit saja aku sering keliru. Begitupun dengan takdir yang beberapa hari lalu Tuhan goreskan dalam lembaran masa depanku kelak. Aku lulus sbmptn, diantara ribuan atau mungkin jutaan siswa-siswi yang mengikuti test, aku berhasil menikmati jerih payahku yang tak begitu maksimal aku tuai. Tuhan begitu agung.. Aku mempercayainya sebagai Yang Hak Atas Segala Hak. Termasuk hidupku yang hanya seorang hamba. Aku terkejut, bangga sekaligus kecewa pada waktu yang bersamaan. Semua diluar batas logikaku. Meliar dalam imaji yang tidak menentu. Harapanku tentu saja aku memang mengharapkan kelulusan ini. Tapi ekspektasinya begitu memutar dari apa yang aku lakukan. Aku telah pesimis, apa aku bisa? Sekali lagi kuagungi kalimatNya, "Kun Faya Kun". Sekalipun aku menyerah. Ketika hatiku begitu ikhlas pada sebuah kegagalan yang mungkin akan aku jumpai di kemudian hari. Tuhan membangunkan sepiku. Sebuah harapan kembali muncul di tengah letupan-letupan gundah yang sedang melalang buana dalam pikiranku. Subhanallah. Aku lulus di pilihan ketiga dalam test itu. Dengan jurusan kehutanan yang mungkin sebagian masyarakat menyepelehkannya. Aku mengerti, masih sangat tabu jalan ini bagiku. Tapi Tuhan telah memberiku kesempatan untuk berbakti, tak akan aku sia-siakan. Jika aku di takdirkan untuk barada dalam alam, mencintai ciptaanNya yang sungguh luar biasa. Maka aku akan melakukannya dengan senang hati dan berbangga. Inilah cara Tuhan mendewasakanku dengan lebih dekat mengagumiNya.
Quote yang sangat melekat pada ingatanku yang beberapa tahun ini aku jadikan pedoman mengejar mimpi bahwa, "Hasil tidak akan mengkhianati USAHA". Ya. Telak bagiku untuk memahami maksudnya. Aku ikhlas, mengerti dan menerima. Usahaku tidak sekosisten mereka yang berada jauh di depanku. Aku lemah. Aku tidak sebaik mereka mengatur waktuku semaksimal mungkin. Kini, mimpiku meneruskan impian seseorang yang sangat aku kasihi di pendidikan putih abu-abu ku memudar. Mungkin ada retak-retak kecewa dan sunggu ini semua salahku, menciptakan jarakku sendiri diantara kami semakin jauh dari pandangan. Aku tidak menemuinya bukan karena aku telah lupa, sungguh 'tidak'. Tidakku adalah nyata dan akan selalu ada. Aku mencintainya, dia orang yang aku hormati setelah orang tuaku. Hanya saja aku memang pengecut ulung. Mataku tak akan sanggup melihat raut kecewa pada hatinya yang tulus. Meski nantinya akan ia sembunyikan mati-matian. Aku tahu. Kecewanya karena kecerobohanku tentang waktu. Dan senyumnya tetap tak dapat mengubah itu sedikitpun.
Quote yang sangat melekat pada ingatanku yang beberapa tahun ini aku jadikan pedoman mengejar mimpi bahwa, "Hasil tidak akan mengkhianati USAHA". Ya. Telak bagiku untuk memahami maksudnya. Aku ikhlas, mengerti dan menerima. Usahaku tidak sekosisten mereka yang berada jauh di depanku. Aku lemah. Aku tidak sebaik mereka mengatur waktuku semaksimal mungkin. Kini, mimpiku meneruskan impian seseorang yang sangat aku kasihi di pendidikan putih abu-abu ku memudar. Mungkin ada retak-retak kecewa dan sunggu ini semua salahku, menciptakan jarakku sendiri diantara kami semakin jauh dari pandangan. Aku tidak menemuinya bukan karena aku telah lupa, sungguh 'tidak'. Tidakku adalah nyata dan akan selalu ada. Aku mencintainya, dia orang yang aku hormati setelah orang tuaku. Hanya saja aku memang pengecut ulung. Mataku tak akan sanggup melihat raut kecewa pada hatinya yang tulus. Meski nantinya akan ia sembunyikan mati-matian. Aku tahu. Kecewanya karena kecerobohanku tentang waktu. Dan senyumnya tetap tak dapat mengubah itu sedikitpun.
Aku Merindukanmu, Bu.
Kamis, 08 Juni 2017
Misteri Perpustakaan Desa Aloba
Gerald menyadari Carlos tak menghiraukannya. Merasa tak diperdulikan,
Gerald pun memutuskan untuk menghampiri Carlos. Melihat apa yang sedang
sahabatnya ini lakukan.
"Gerald, coba perhatikan relief ini. Bukankah ini relief kuno yang kita temukan di dinding gua minggu lalu?"
"Oh ya! Ini sama persis dengan relief gua yang kita temui di hutan minggu lalu."
"Apa kau masih menyimpan dokumentasi terjemahannya Gerald?"
"Tentu saja. Tunggu sebentar."
Gerald mengeluarkan sebuah kertas lusuh dari ranselnya dan menyerahkannya pada Carlos. Mereka berdua terlihat antusias mencocokkan setiap relief dengan terjemahannya.
Tak terasa fajar hampir menyingsing dan suara kokokkan ayam mulai nyaring bersahutan. Carlos yang tengah asik memecahkan misteri relief itu, sama sekali tak berkutik menyadari pagi telah menyapa.
"Hey, Carlos! Hari sudah mulai pagi. Aku rasa lebih baik kita pulang dan istirahat sekarang. Perutku sangat lapar"
"Sebentar Gerald."
"Kita bisa kembali lagi nanti. Perutku sudah tak tahan Carlos. Aku laparrrr"
"Oh Gerald, berhentilah merengek seperti bayi. Aku muak mendengarnya."
"Biarkan. Aku akan terus merengek sampai kau mau menyelesaikan penelitian ini dan menemaniku pulang."
"Baiklah baiklah anak manja. Aku akan pulang bersamamu sekarang."
Carlos merapihkan barang-barangnya dan menyimpan hasil analasisnya ke dalam ransel.
Gerald tertawa dan merangkul sahabatnya itu, "Maafkan aku Carlos, ini demi kebaikanmu juga. Kau tentu perlu istirahat untuk tetap bugar memecahkan misteri ini."
"Kau selalu jadi orang yang paling mengerti aku Gerald"
"Oh tentu saja, aku, Gerald Niollan. Adalah orang yang paling mengerti kau, Victorian Carlos, si ceroboh menjengkelkan. Karena aku mendapat kutukan menjadi sahabatmu Carlos. Sial sekali bukan?"
"Sesungguhnya aku pun tak sudi bersahabat denganmu manusia aneh" Carlos memukul lengan Gerald dan mereka tertawa bersama.
Matahari sudah mulai terik saat Carlos dan Gerald tiba di pondok mereka. Bangunan sederhana yang mereka tempati untuk melakukan penelitian.
"Kau mandilah dulu Carlos. Aku akan menyiapkan makanan untuk kita" Gerald beranjak ke dapur dan memeriksa bahan makanan yang masih tersisa untuk dimasak.
Asap mulai memenuhi cerobong pondok mereka, membuat suasana hutan lebih berpenghuni.
Sepersekian menit setelah Gerald selesai memasak dan menata makanan ke meja makan. Carlos keluar dari kamar dan membawa 2 botol minuman bersoda ke atas meja.
"Hey, aku tak tau kau menyembunyikan minuman itu dariku Carlos."
"Hahaha karena aku tak akan membiarkan kau tau dan menghabiskannya begitu saja"
"Oh ayolah, aku tak serakus itu Carlos"
Gerald melemparkan sendok ke arah Carlos dan.. meleset. Carlos dengan cekatan menghindar dan berhasil duduk di kursi dengan rapi.
"Sebaiknya kau segera mandi Gerald, baumu mengganggu selera makanku"
"Sialan kau hahaha"
Gerald memutuskan untuk segera mandi sebelum Carlos mulai menyeramahinya lagi.
Tubuhnya terasa lebih segar setelah mandi. Dan Gerald menikmati sarapannya bersama Carlos. Mengobrol tentang banyak hal. Hingga sarapan mereka habis tak bersisa.
Selesai mencuci piring dan merapikan meja. Gerald dan Carlos memilih untuk mengistirahatkan tubuh mereka sejenak. Menyiapkan tubuh untuk melanjutkan penelitian.
***
"Kau tak akan bisa mengalahkanku Carlos! HAHAHA"
Seorang pria berjubah hitam mencoba mengejar Carlos dan menghunuskan pedangnya berkali-kali.
"Siapa kau keparat?! Tunjukan wajahmu!" Carlos mencoba menghindar dan mengenali pria itu. Namun nihil. Malam terlalu pekat untuk membiarkan Carlos mengenalinya lebih jelas.
"Akulah orang yang selama ini kau cari Carlos"
"Si..siapa kau?!!"
Carlos mulai ketakutan dan lelah menghindar. Carlos tak bisa berbuat apa-apa ketika pria itu mendekat. Pedangnya mengayun pelan. Dan..
Blesh! Darah..
Carlos tertegun dan menengadah. Ada yang aneh. Dia tak merasakan sakit sedikitpun. Lalu darah siapa ini? Jika bukan dia yang tertusuk, lalu siapa?
Carlos mengerjapkan matanya tak percaya. Mencoba menalar kembali apa yang terjadi.
Kini dihadapannya, ibunya terduduk lemas dengan tubuh bersimbah darah. Dan pria itu tertawa tak berdosa. Seakan tak ada yang terjadi.
"Kau salah, mengertilah. Aku tak pernah mengkhianatimu. Dia adalah a..nak..." wanita itu memejamkan matanya sebelum sempat melanjutkan kalimatnya. Carlos terpaku melihat ibunya kini tak bernyawa. Hatinya terasa terbakar, Carlos menarik pedang di sarung pinggangnya dan menghampiri pria itu.
"Pengecut! Dia tak bersalah! Ibuku, dia tak bersalah bajingan! Dan kau membunuhnya."
Air mata Carlos membasahi pedangnya yang keemasan. Membuat sebuah kilauan menyilaukan disana.
"Terima ini. Aku akan membunuhmu bajingan!!" Carlos mengangkat pedangnya dan Deg! Kilauan pedangnya bersinar.
Carlos tertegun dan menengadah. Ada yang aneh. Dia tak merasakan sakit sedikitpun. Lalu darah siapa ini? Jika bukan dia yang tertusuk, lalu siapa?
Carlos mengerjapkan matanya tak percaya. Mencoba menalar kembali apa yang terjadi.
Kini dihadapannya, ibunya terduduk lemas dengan tubuh bersimbah darah. Dan pria itu tertawa tak berdosa. Seakan tak ada yang terjadi.
"Kau salah, mengertilah. Aku tak pernah mengkhianatimu. Dia adalah a..nak..." wanita itu memejamkan matanya sebelum sempat melanjutkan kalimatnya. Carlos terpaku melihat ibunya kini tak bernyawa. Hatinya terasa terbakar, Carlos menarik pedang di sarung pinggangnya dan menghampiri pria itu.
"Pengecut! Dia tak bersalah! Ibuku, dia tak bersalah bajingan! Dan kau membunuhnya."
Air mata Carlos membasahi pedangnya yang keemasan. Membuat sebuah kilauan menyilaukan disana.
"Terima ini. Aku akan membunuhmu bajingan!!" Carlos mengangkat pedangnya dan Deg! Kilauan pedangnya bersinar.
"A..a..yah?"
Carlos mengenali wajahnya. Ya! Pria ini adalah pria yang ada di foto pernikahan ibunya. Pria yang selama 17 tahun dinanti oleh ibunya. Pria yang tak pernah sedikitpun Carlos temui.
"Hahaha, ayo bunuh aku Carlos. Bunuhlah ayahmu ini. Ya, akulah ayahmu!"
"Ta..tapi, bagaimana mungkin. A..a..yah? Bukankah kau telah..."
"Ibumu berbohong Carlos, aku masih hidup. Ibumu menyembunyikan fakta jika aku adalah ayah sekaligus malaikat kematianmu hahaha"
Carlos menegang. Tubuhnya penuh dengan peluh yang membasahi keningnya.
"Tidak! Ini tidak mungkin!! Tidak!!!"
***
"Hey Carlos, bangunlah! Carlos!" Gerald menggoyang-goyangkan tubuh Carlos.
Carlos mengerjapkan matanya, "ah, aku dimana?"
"Tentu saja di pondok kita Carlos. Apa kau tak apa-apa?"
"Ya, aku tak apa-apa. Hanya saja aku mendapat mimpi yang mengerikan"
"Benarkah? Tentang apa?"
"Ibuku, dan juga ayahku."
"Ayahmu? Bukankah dia sudah?"
"Entahlah. Mimpi yang mengerikan."
"Gerald, coba perhatikan relief ini. Bukankah ini relief kuno yang kita temukan di dinding gua minggu lalu?"
"Oh ya! Ini sama persis dengan relief gua yang kita temui di hutan minggu lalu."
"Apa kau masih menyimpan dokumentasi terjemahannya Gerald?"
"Tentu saja. Tunggu sebentar."
Gerald mengeluarkan sebuah kertas lusuh dari ranselnya dan menyerahkannya pada Carlos. Mereka berdua terlihat antusias mencocokkan setiap relief dengan terjemahannya.
Tak terasa fajar hampir menyingsing dan suara kokokkan ayam mulai nyaring bersahutan. Carlos yang tengah asik memecahkan misteri relief itu, sama sekali tak berkutik menyadari pagi telah menyapa.
"Hey, Carlos! Hari sudah mulai pagi. Aku rasa lebih baik kita pulang dan istirahat sekarang. Perutku sangat lapar"
"Sebentar Gerald."
"Kita bisa kembali lagi nanti. Perutku sudah tak tahan Carlos. Aku laparrrr"
"Oh Gerald, berhentilah merengek seperti bayi. Aku muak mendengarnya."
"Biarkan. Aku akan terus merengek sampai kau mau menyelesaikan penelitian ini dan menemaniku pulang."
"Baiklah baiklah anak manja. Aku akan pulang bersamamu sekarang."
Carlos merapihkan barang-barangnya dan menyimpan hasil analasisnya ke dalam ransel.
Gerald tertawa dan merangkul sahabatnya itu, "Maafkan aku Carlos, ini demi kebaikanmu juga. Kau tentu perlu istirahat untuk tetap bugar memecahkan misteri ini."
"Kau selalu jadi orang yang paling mengerti aku Gerald"
"Oh tentu saja, aku, Gerald Niollan. Adalah orang yang paling mengerti kau, Victorian Carlos, si ceroboh menjengkelkan. Karena aku mendapat kutukan menjadi sahabatmu Carlos. Sial sekali bukan?"
"Sesungguhnya aku pun tak sudi bersahabat denganmu manusia aneh" Carlos memukul lengan Gerald dan mereka tertawa bersama.
Matahari sudah mulai terik saat Carlos dan Gerald tiba di pondok mereka. Bangunan sederhana yang mereka tempati untuk melakukan penelitian.
"Kau mandilah dulu Carlos. Aku akan menyiapkan makanan untuk kita" Gerald beranjak ke dapur dan memeriksa bahan makanan yang masih tersisa untuk dimasak.
Asap mulai memenuhi cerobong pondok mereka, membuat suasana hutan lebih berpenghuni.
Sepersekian menit setelah Gerald selesai memasak dan menata makanan ke meja makan. Carlos keluar dari kamar dan membawa 2 botol minuman bersoda ke atas meja.
"Hey, aku tak tau kau menyembunyikan minuman itu dariku Carlos."
"Hahaha karena aku tak akan membiarkan kau tau dan menghabiskannya begitu saja"
"Oh ayolah, aku tak serakus itu Carlos"
Gerald melemparkan sendok ke arah Carlos dan.. meleset. Carlos dengan cekatan menghindar dan berhasil duduk di kursi dengan rapi.
"Sebaiknya kau segera mandi Gerald, baumu mengganggu selera makanku"
"Sialan kau hahaha"
Gerald memutuskan untuk segera mandi sebelum Carlos mulai menyeramahinya lagi.
Tubuhnya terasa lebih segar setelah mandi. Dan Gerald menikmati sarapannya bersama Carlos. Mengobrol tentang banyak hal. Hingga sarapan mereka habis tak bersisa.
Selesai mencuci piring dan merapikan meja. Gerald dan Carlos memilih untuk mengistirahatkan tubuh mereka sejenak. Menyiapkan tubuh untuk melanjutkan penelitian.
***
"Kau tak akan bisa mengalahkanku Carlos! HAHAHA"
Seorang pria berjubah hitam mencoba mengejar Carlos dan menghunuskan pedangnya berkali-kali.
"Siapa kau keparat?! Tunjukan wajahmu!" Carlos mencoba menghindar dan mengenali pria itu. Namun nihil. Malam terlalu pekat untuk membiarkan Carlos mengenalinya lebih jelas.
"Akulah orang yang selama ini kau cari Carlos"
"Si..siapa kau?!!"
Carlos mulai ketakutan dan lelah menghindar. Carlos tak bisa berbuat apa-apa ketika pria itu mendekat. Pedangnya mengayun pelan. Dan..
Blesh! Darah..
Carlos tertegun dan menengadah. Ada yang aneh. Dia tak merasakan sakit sedikitpun. Lalu darah siapa ini? Jika bukan dia yang tertusuk, lalu siapa?
Carlos mengerjapkan matanya tak percaya. Mencoba menalar kembali apa yang terjadi.
Kini dihadapannya, ibunya terduduk lemas dengan tubuh bersimbah darah. Dan pria itu tertawa tak berdosa. Seakan tak ada yang terjadi.
"Kau salah, mengertilah. Aku tak pernah mengkhianatimu. Dia adalah a..nak..." wanita itu memejamkan matanya sebelum sempat melanjutkan kalimatnya. Carlos terpaku melihat ibunya kini tak bernyawa. Hatinya terasa terbakar, Carlos menarik pedang di sarung pinggangnya dan menghampiri pria itu.
"Pengecut! Dia tak bersalah! Ibuku, dia tak bersalah bajingan! Dan kau membunuhnya."
Air mata Carlos membasahi pedangnya yang keemasan. Membuat sebuah kilauan menyilaukan disana.
"Terima ini. Aku akan membunuhmu bajingan!!" Carlos mengangkat pedangnya dan Deg! Kilauan pedangnya bersinar.
Carlos tertegun dan menengadah. Ada yang aneh. Dia tak merasakan sakit sedikitpun. Lalu darah siapa ini? Jika bukan dia yang tertusuk, lalu siapa?
Carlos mengerjapkan matanya tak percaya. Mencoba menalar kembali apa yang terjadi.
Kini dihadapannya, ibunya terduduk lemas dengan tubuh bersimbah darah. Dan pria itu tertawa tak berdosa. Seakan tak ada yang terjadi.
"Kau salah, mengertilah. Aku tak pernah mengkhianatimu. Dia adalah a..nak..." wanita itu memejamkan matanya sebelum sempat melanjutkan kalimatnya. Carlos terpaku melihat ibunya kini tak bernyawa. Hatinya terasa terbakar, Carlos menarik pedang di sarung pinggangnya dan menghampiri pria itu.
"Pengecut! Dia tak bersalah! Ibuku, dia tak bersalah bajingan! Dan kau membunuhnya."
Air mata Carlos membasahi pedangnya yang keemasan. Membuat sebuah kilauan menyilaukan disana.
"Terima ini. Aku akan membunuhmu bajingan!!" Carlos mengangkat pedangnya dan Deg! Kilauan pedangnya bersinar.
"A..a..yah?"
Carlos mengenali wajahnya. Ya! Pria ini adalah pria yang ada di foto pernikahan ibunya. Pria yang selama 17 tahun dinanti oleh ibunya. Pria yang tak pernah sedikitpun Carlos temui.
"Hahaha, ayo bunuh aku Carlos. Bunuhlah ayahmu ini. Ya, akulah ayahmu!"
"Ta..tapi, bagaimana mungkin. A..a..yah? Bukankah kau telah..."
"Ibumu berbohong Carlos, aku masih hidup. Ibumu menyembunyikan fakta jika aku adalah ayah sekaligus malaikat kematianmu hahaha"
Carlos menegang. Tubuhnya penuh dengan peluh yang membasahi keningnya.
"Tidak! Ini tidak mungkin!! Tidak!!!"
***
"Hey Carlos, bangunlah! Carlos!" Gerald menggoyang-goyangkan tubuh Carlos.
Carlos mengerjapkan matanya, "ah, aku dimana?"
"Tentu saja di pondok kita Carlos. Apa kau tak apa-apa?"
"Ya, aku tak apa-apa. Hanya saja aku mendapat mimpi yang mengerikan"
"Benarkah? Tentang apa?"
"Ibuku, dan juga ayahku."
"Ayahmu? Bukankah dia sudah?"
"Entahlah. Mimpi yang mengerikan."
Seperti Kesedihan Yang Luruh Dalam Senyuman
Sepasang tatap mata,
seperti gerimis yang menitik di permukaan wajah,
berderai, melerai,
lambat lindap genang dalam kenang.
Kau dan aku begitu masyuk dalam gaduh yang bagai bening mengambang di udara,
di telinga; debar di dada,
larut segala gundah dan nestapa.
Bahkan, dengan langgam yang paling sumbang engkau menembang bintang.
Mampu menerangi legam kerling senyumku
--lamat membalut kesakitanku.
Pada ingatan yang merekam sapa pertamamu,
kubiarkan gemanya tembus hingga di dasar kalbu,
dan segala kesedihan, luruh satu-satu
dalam senyum dan canda-tawamu.
(Kunang-Kunang; Delbin Clyte)
seperti gerimis yang menitik di permukaan wajah,
berderai, melerai,
lambat lindap genang dalam kenang.
Kau dan aku begitu masyuk dalam gaduh yang bagai bening mengambang di udara,
di telinga; debar di dada,
larut segala gundah dan nestapa.
Bahkan, dengan langgam yang paling sumbang engkau menembang bintang.
Mampu menerangi legam kerling senyumku
--lamat membalut kesakitanku.
Pada ingatan yang merekam sapa pertamamu,
kubiarkan gemanya tembus hingga di dasar kalbu,
dan segala kesedihan, luruh satu-satu
dalam senyum dan canda-tawamu.
(Kunang-Kunang; Delbin Clyte)
Mawar Terakhir
"Apa maksudnya?"
"Ini sudah keputusanku fian, aku ingin hubungan kita cukup sampai disini"
"Tapi apa salahku? Apa aku berbuat kesalahan fatal?"
"Tidak, hanya saja kau terlalu baik untukku fian. Aku rasa kau pantas dapatkan yang lebih baik dariku"
Alasan yang klise. Tentu saja ini konyol. Aku tau kau sedang bermain dibelakangku Farel, aku tau itu.
Aku menghela nafas "Baiklah rel, jika itu keputusanmu. Aku harap kau tak akan menyesal"
Farel menatapku iba. Oh tuhan! Dia pikir aku sedih kehilangannya? Aku bahkan tak mencintainya sedikitpun. Biar aku jelaskan, kami berpacaran karena dia yang terus memaksaku. Bukan karena aku membalas cintanya.
*****
Ini adalah sore kelima setelah aku menyandang status yang keramat ini. Jomblo. Ah aku rasa berlebihan menyebutnya keramat.
Ku edarkan pandanganku pada sekeliling kamar. Dan pandanganku terhenti pada foto yang berbingkaikan kayu ukir sederhana. Itu adalah fotoku dan Kino, almarhum adik kecilku.
Dia terlihat tampan dan menggemaskan dengan syal putih yang melingkar dilehernya. Hhh, kau adikku yang tampan kino. Andai saja kau masih hidup, tentu saja aku akan segera mengidap brother complex sekarang.
Aku tersenyum dan memeluk erat foto kami. Mengingat saat-saat bahagia bersama Kino, membuat pipiku merona. Kino memang tipe pria idaman dengan semua yang dia miliki. Dan kau terlalu cepat mengambilnya tuhan, dia bahkan belum genap 11 tahun saat itu.
Tok Tok Tok
"Masuk aja"
"Fian?"
Aku menoleh "Eh mamah, ada apa?"
"Gak ada apa-apasih, mamah cuma iseng kesini"
"Tumben, emang mamah gak kerumah eyang hari ini?"
"Enggak sayang" ucap mamah seraya tersenyum.
Ya, sejak kematian Kino. Mamah memang lebih menyibukan diri dengan mengurusi eyang. Dan aku terbiasa hidup dalam kesendirian dirumah mewahku ini.
"Yaudah sini duduk mah" aku menepuk-nepuk tempat di sampingku. Mempersilahkan mamah untuk duduk disini.
"Gak usah fian, mamah ada acara sebentar lagi. Maafin mamah ya udah sering ninggalin kamu"
Ku anggukan kepala dan memandang mamah bingung. Tak seperti biasanya.
"Berhentilah memikirkan adikmu fian" mamah menatapku tajam, "Kau harus bisa, mamah akan memperkenalkanmu dengan anak teman mamah"
"Maksud mamah?"
"Mamah mulai merasa kamu mencintai almarhum adikmu sendiri. Mamah hanya tak ingin kamu terus-terusan bersedih"
******
Aku menatap bayanganku di cermin. Cukup cantik dan aku rasa mamah tak akan malu dengan penampilanku malam ini.
Gaun jingga dengan sepatu flat senada. Sederhana dan menawan.
"Wih, cantik banget lo"
"Emang, baru nyadar?" aku merapikan gaunku dan berbalik. Tak perlu menatap wajahnya untuk mengetahui suara siapa itu. Familiar sekali, karena dia sudah bersamaku sejak kami kecil. Fabiano Binar Mahesti. Sepupu tampanku yang tak pernah mengganti statusnya menjadi taken. Bahkan saat umurnya hampir menginjak 21 tahun.
Binar mengerucutkan bibirnya dan berkacak pinggang, "aku menyesal mengatakan kau cantik putri bebek"
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan menjijikan itu binar. Atau aku akan membunuhmu" ku tatap sinis matanya.
"Oh gawat, aku membangunkan singa tidur rupanya"
Sontak aku mencubit pinggangnya. Membuat dia meringis kesakitan.
"Kau terlambat binar hahaha" aku menyeringai saat melihat Binar kesakitan.
"Sudahlah ayo turun, tante sudah menunggumu. Kau perlu tau pinggangku terasa dicapit kepiting fian"
"Gak dengarrrr"
Ku lemparkan bantal kearahnya dan berbegas turun ke ruang tamu. Tempat mamah dan papah menunggu.
"Sudah sejam kamu merias fian" tegur mamah
"Hehe maaf mah, tadi gak pede mau keluar kamar" jawabku asal
"Yasudah ayo kita berangkat sekarang, mana binar?" papah menatapku curiga.
Astaga aku lupa! Aku mengunci kamar saat keluar tadi. Dan Binar masih ada di dalam sana.
Setengah berlari ku buka pintu kamar dengan cemas, berharap Binar tak akan menjewerku karena ceroboh menguncinya di dalam.
Krekkk
"Binar!!!!!"
Aku melongo melihatnya sedang asik memainkan game di laptopku.
Dia menoleh dan mengacuhkanku, "Binar ih!!!" aku kembali meneriaki namanya.
"Apasih bawel banget"
Errrr, keterlaluan! Aku menariknya paksa dari kasurku. Mengajaknya segera turun sebelum papah dan mamah menceramahi kami karena terlambat ke acara jamuan makan relasi bisnis papah.
******
"Eh fian, apakah kau yakin tak akan dijodohkan dengan om-om hidung belang?" Binar berbisik padaku.
Aku memelototinya, "orang tuaku bukan orang tua siti nurbaya jika kau lupa"
"hahaha aku hanya bercanda tau"
"sama sekali gak lucu" ketusku
"Huuu ngambek deh"
Makan malam apa ini? Untuk apa papah dan mamah mengajak makhluk astral bodoh seperti Binar ke acara penting kami.
Mobil kami melintas diantara keramaian ibu kota malam. Membuat aku sedikit canggung melihat orang-orang berlalu lalang dengan aktifitas yang tak biasa. Merokok, mabuk, dan memeluk perempuan dengan santainya di pinggir jalan. Apa mereka tak punya adab?, batinku.
Ceklek
"Hoy, ayo turun!" binar mengguncang-guncangkan tubuhku. Seperti baru saja mendapatkan kesadaranku kembali, aku tersenyum kikuk.
"eh hehe iya iya sebentar"
"ngelamunin apa sih?"
Dia menatapku penasaran dan aku hanya menggeleng. Toh percuma saja menjelaskan hal bodoh tadi pada Binar, yang notabene juga berotak udang, hanya akan membuat aku terlihat sama bodohnya dengan dia.
Aku pun memutuskan untuk turun dari mobil sebelum Binar memulai kekepoannya lagi. Sungguh, aku risih jika harus diintrogasi begitu. Apalagi membeberkan semua isi hatiku padanya. Tak akan pernah!
Papah dan mamah masuk terlebih dulu ke dalam rumah mewah dengan dekorasi sederhana ini. Membuat aku harus mengekori mereka agar tak berurusan dengan Binar.
"Aduh!" aku mengeluh kesakitan saat dahiku merasakan benturan yang kuat. Lantas aku mendongakkan kepalaku untuk mengetahui wajah orang yang telah menabrakku.
Deg.
Astaga, dia?
Aku mengerjapkan mataku, "Fa..Farel?"
"Eh, hai fian. Maaf aku gak liat ada kamu tadi, loh kamu ngapain disini?" farel menatapku bingung.
Aku? Entahlah. Aku hanya mematuhi perintah orangtuaku untuk dijodohkan dengan anak teman relasi bisnis papah. Dan sialnya aku bertemu denganmu Farel.
Itulah yang ingin aku katakan padanya. Tapi sejenak aku berpikir, kalau ternyata Farel adalah pria yang akan dijodohkan denganku, bukankah kata-kata tadi sangat keterlaluan?
******
"Oh jadi kamu perempuan yang dimaksud mamah aku, aku gak nyangka loh kalau itu kamu" Farel terlihat antusias.
"Oh ya?"
"Iya, bahkan alasan aku mutusin hubungan kita ya karena ini. Aku bakal dijodohin dan aku takut kamu kecewa nantinya, makanya aku mutusin kamu"
Farel nampak sedih ketika menjelaskan alasannya mengakhiri hubungan kami. Jelas ada pancaran kesakitan di mata hitam pekatnya. Membuat wajahnya terlihat sayu dan tak bersemangat.
Farel menggenggam tanganku dan mengecupnya, "aku senang karena ternyata aku tak harus kehilanganmu fian"
Aku memaksakan senyumku agar tidak menunjukkan ketidak nyamananku padanya. Argh, aku kembali akan terkurung dalam sandiwara ini lagi. Berpura-pura mencintainya untuk yang kedua kalinya.
Apapun yang Farel katakan saat ini, tetap saja aku tak dapat mencerna dengan baik maksudnya. Dan itu sebabnya aku lebih memilih diam.
"fi, ayo pulang"
Aku merasakan ada yang menarik tanganku, dan sudah bisa dipastikan itu siapa. Binar, ya Binar! Dia sedang memasang tampang kesalnya saat ini, jika kalian ingin tau tentunya.
Entahlah, aku hanya mengikutinya pulang dengan perasaan tak menentu.
******
"Lo mesti tau fi. Adiknya Farel itu nyeremin banget! Masa gue didempetin mulu"
BlaBlaBla. Binar memulai ritual curhatnya yang membuat kepalaku semakin pening. Ih yang benar saja. Emangnya aku tempat sampah apa?
******
Binar POV'
Fian terlihat semakin cantik saat menatapku jengah. Biarlah, aku tak perduli jika harus dicap pria menjengkelkan olehnya. Yang aku tau hanya aku menyayanginya. Dan hatiku berdegup kencang ketika bersamanya.
"Fian? Dengerin gak sih?!" aku mencubit pipinya.
Dia mengerucutkan bibir dan mengelus-ngelus pipinya, "Ah! Sakit kali! Iya didengerin kok. Gak usah pake nyubit"
Tuh, liat. Fian sangat menggemaskan bukan?
"Hehe, maaf deh fi. Abis lo ngelamun aja dari tadi"
"Gue gak ngelamun"
"Jelas-jelas tadi lo ngelamun. Pakai ngeles lagi"
"Sok tau!"
Fian melempariku dengan bantal dan pergi begitu saja. Itulah kebiasaan menyebalkan yang Fian miliki. Dan aku selalu menjadi korban setianya.
"Eh fiii, lo mau kemana?" aku mencoba bangkit setelah memastikan tak ada lagi serangan yang membahayakan.
"Mau ke rumah Violla, kenapa mau ikut?"
Ah, aku menutup telingaku. Gadis macam apa yang menjawab pertanyaan seorang pria dengan teriakan? Huh, gadis aneh.
******
Perlu aku luruskan sesuatu. Tentang perasaanku dan hubunganku dengan Fian.
Kami memang sepupu. Tapi sepupu dalam artian aku adalah adik ipar dari sepupunya Fian yang menikah dengan kakak ku. Itu artinya aku mempunyai kesempatan untuk bersamanya kan?
Dan aku bahagia karena masih bisa memperjuangkan perasaanku pada Fian. Walau Fian tak pernah menyadari itu.
"Ini sudah keputusanku fian, aku ingin hubungan kita cukup sampai disini"
"Tapi apa salahku? Apa aku berbuat kesalahan fatal?"
"Tidak, hanya saja kau terlalu baik untukku fian. Aku rasa kau pantas dapatkan yang lebih baik dariku"
Alasan yang klise. Tentu saja ini konyol. Aku tau kau sedang bermain dibelakangku Farel, aku tau itu.
Aku menghela nafas "Baiklah rel, jika itu keputusanmu. Aku harap kau tak akan menyesal"
Farel menatapku iba. Oh tuhan! Dia pikir aku sedih kehilangannya? Aku bahkan tak mencintainya sedikitpun. Biar aku jelaskan, kami berpacaran karena dia yang terus memaksaku. Bukan karena aku membalas cintanya.
*****
Ini adalah sore kelima setelah aku menyandang status yang keramat ini. Jomblo. Ah aku rasa berlebihan menyebutnya keramat.
Ku edarkan pandanganku pada sekeliling kamar. Dan pandanganku terhenti pada foto yang berbingkaikan kayu ukir sederhana. Itu adalah fotoku dan Kino, almarhum adik kecilku.
Dia terlihat tampan dan menggemaskan dengan syal putih yang melingkar dilehernya. Hhh, kau adikku yang tampan kino. Andai saja kau masih hidup, tentu saja aku akan segera mengidap brother complex sekarang.
Aku tersenyum dan memeluk erat foto kami. Mengingat saat-saat bahagia bersama Kino, membuat pipiku merona. Kino memang tipe pria idaman dengan semua yang dia miliki. Dan kau terlalu cepat mengambilnya tuhan, dia bahkan belum genap 11 tahun saat itu.
Tok Tok Tok
"Masuk aja"
"Fian?"
Aku menoleh "Eh mamah, ada apa?"
"Gak ada apa-apasih, mamah cuma iseng kesini"
"Tumben, emang mamah gak kerumah eyang hari ini?"
"Enggak sayang" ucap mamah seraya tersenyum.
Ya, sejak kematian Kino. Mamah memang lebih menyibukan diri dengan mengurusi eyang. Dan aku terbiasa hidup dalam kesendirian dirumah mewahku ini.
"Yaudah sini duduk mah" aku menepuk-nepuk tempat di sampingku. Mempersilahkan mamah untuk duduk disini.
"Gak usah fian, mamah ada acara sebentar lagi. Maafin mamah ya udah sering ninggalin kamu"
Ku anggukan kepala dan memandang mamah bingung. Tak seperti biasanya.
"Berhentilah memikirkan adikmu fian" mamah menatapku tajam, "Kau harus bisa, mamah akan memperkenalkanmu dengan anak teman mamah"
"Maksud mamah?"
"Mamah mulai merasa kamu mencintai almarhum adikmu sendiri. Mamah hanya tak ingin kamu terus-terusan bersedih"
******
Aku menatap bayanganku di cermin. Cukup cantik dan aku rasa mamah tak akan malu dengan penampilanku malam ini.
Gaun jingga dengan sepatu flat senada. Sederhana dan menawan.
"Wih, cantik banget lo"
"Emang, baru nyadar?" aku merapikan gaunku dan berbalik. Tak perlu menatap wajahnya untuk mengetahui suara siapa itu. Familiar sekali, karena dia sudah bersamaku sejak kami kecil. Fabiano Binar Mahesti. Sepupu tampanku yang tak pernah mengganti statusnya menjadi taken. Bahkan saat umurnya hampir menginjak 21 tahun.
Binar mengerucutkan bibirnya dan berkacak pinggang, "aku menyesal mengatakan kau cantik putri bebek"
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan menjijikan itu binar. Atau aku akan membunuhmu" ku tatap sinis matanya.
"Oh gawat, aku membangunkan singa tidur rupanya"
Sontak aku mencubit pinggangnya. Membuat dia meringis kesakitan.
"Kau terlambat binar hahaha" aku menyeringai saat melihat Binar kesakitan.
"Sudahlah ayo turun, tante sudah menunggumu. Kau perlu tau pinggangku terasa dicapit kepiting fian"
"Gak dengarrrr"
Ku lemparkan bantal kearahnya dan berbegas turun ke ruang tamu. Tempat mamah dan papah menunggu.
"Sudah sejam kamu merias fian" tegur mamah
"Hehe maaf mah, tadi gak pede mau keluar kamar" jawabku asal
"Yasudah ayo kita berangkat sekarang, mana binar?" papah menatapku curiga.
Astaga aku lupa! Aku mengunci kamar saat keluar tadi. Dan Binar masih ada di dalam sana.
Setengah berlari ku buka pintu kamar dengan cemas, berharap Binar tak akan menjewerku karena ceroboh menguncinya di dalam.
Krekkk
"Binar!!!!!"
Aku melongo melihatnya sedang asik memainkan game di laptopku.
Dia menoleh dan mengacuhkanku, "Binar ih!!!" aku kembali meneriaki namanya.
"Apasih bawel banget"
Errrr, keterlaluan! Aku menariknya paksa dari kasurku. Mengajaknya segera turun sebelum papah dan mamah menceramahi kami karena terlambat ke acara jamuan makan relasi bisnis papah.
******
"Eh fian, apakah kau yakin tak akan dijodohkan dengan om-om hidung belang?" Binar berbisik padaku.
Aku memelototinya, "orang tuaku bukan orang tua siti nurbaya jika kau lupa"
"hahaha aku hanya bercanda tau"
"sama sekali gak lucu" ketusku
"Huuu ngambek deh"
Makan malam apa ini? Untuk apa papah dan mamah mengajak makhluk astral bodoh seperti Binar ke acara penting kami.
Mobil kami melintas diantara keramaian ibu kota malam. Membuat aku sedikit canggung melihat orang-orang berlalu lalang dengan aktifitas yang tak biasa. Merokok, mabuk, dan memeluk perempuan dengan santainya di pinggir jalan. Apa mereka tak punya adab?, batinku.
Ceklek
"Hoy, ayo turun!" binar mengguncang-guncangkan tubuhku. Seperti baru saja mendapatkan kesadaranku kembali, aku tersenyum kikuk.
"eh hehe iya iya sebentar"
"ngelamunin apa sih?"
Dia menatapku penasaran dan aku hanya menggeleng. Toh percuma saja menjelaskan hal bodoh tadi pada Binar, yang notabene juga berotak udang, hanya akan membuat aku terlihat sama bodohnya dengan dia.
Aku pun memutuskan untuk turun dari mobil sebelum Binar memulai kekepoannya lagi. Sungguh, aku risih jika harus diintrogasi begitu. Apalagi membeberkan semua isi hatiku padanya. Tak akan pernah!
Papah dan mamah masuk terlebih dulu ke dalam rumah mewah dengan dekorasi sederhana ini. Membuat aku harus mengekori mereka agar tak berurusan dengan Binar.
"Aduh!" aku mengeluh kesakitan saat dahiku merasakan benturan yang kuat. Lantas aku mendongakkan kepalaku untuk mengetahui wajah orang yang telah menabrakku.
Deg.
Astaga, dia?
Aku mengerjapkan mataku, "Fa..Farel?"
"Eh, hai fian. Maaf aku gak liat ada kamu tadi, loh kamu ngapain disini?" farel menatapku bingung.
Aku? Entahlah. Aku hanya mematuhi perintah orangtuaku untuk dijodohkan dengan anak teman relasi bisnis papah. Dan sialnya aku bertemu denganmu Farel.
Itulah yang ingin aku katakan padanya. Tapi sejenak aku berpikir, kalau ternyata Farel adalah pria yang akan dijodohkan denganku, bukankah kata-kata tadi sangat keterlaluan?
******
"Oh jadi kamu perempuan yang dimaksud mamah aku, aku gak nyangka loh kalau itu kamu" Farel terlihat antusias.
"Oh ya?"
"Iya, bahkan alasan aku mutusin hubungan kita ya karena ini. Aku bakal dijodohin dan aku takut kamu kecewa nantinya, makanya aku mutusin kamu"
Farel nampak sedih ketika menjelaskan alasannya mengakhiri hubungan kami. Jelas ada pancaran kesakitan di mata hitam pekatnya. Membuat wajahnya terlihat sayu dan tak bersemangat.
Farel menggenggam tanganku dan mengecupnya, "aku senang karena ternyata aku tak harus kehilanganmu fian"
Aku memaksakan senyumku agar tidak menunjukkan ketidak nyamananku padanya. Argh, aku kembali akan terkurung dalam sandiwara ini lagi. Berpura-pura mencintainya untuk yang kedua kalinya.
Apapun yang Farel katakan saat ini, tetap saja aku tak dapat mencerna dengan baik maksudnya. Dan itu sebabnya aku lebih memilih diam.
"fi, ayo pulang"
Aku merasakan ada yang menarik tanganku, dan sudah bisa dipastikan itu siapa. Binar, ya Binar! Dia sedang memasang tampang kesalnya saat ini, jika kalian ingin tau tentunya.
Entahlah, aku hanya mengikutinya pulang dengan perasaan tak menentu.
******
"Lo mesti tau fi. Adiknya Farel itu nyeremin banget! Masa gue didempetin mulu"
BlaBlaBla. Binar memulai ritual curhatnya yang membuat kepalaku semakin pening. Ih yang benar saja. Emangnya aku tempat sampah apa?
******
Binar POV'
Fian terlihat semakin cantik saat menatapku jengah. Biarlah, aku tak perduli jika harus dicap pria menjengkelkan olehnya. Yang aku tau hanya aku menyayanginya. Dan hatiku berdegup kencang ketika bersamanya.
"Fian? Dengerin gak sih?!" aku mencubit pipinya.
Dia mengerucutkan bibir dan mengelus-ngelus pipinya, "Ah! Sakit kali! Iya didengerin kok. Gak usah pake nyubit"
Tuh, liat. Fian sangat menggemaskan bukan?
"Hehe, maaf deh fi. Abis lo ngelamun aja dari tadi"
"Gue gak ngelamun"
"Jelas-jelas tadi lo ngelamun. Pakai ngeles lagi"
"Sok tau!"
Fian melempariku dengan bantal dan pergi begitu saja. Itulah kebiasaan menyebalkan yang Fian miliki. Dan aku selalu menjadi korban setianya.
"Eh fiii, lo mau kemana?" aku mencoba bangkit setelah memastikan tak ada lagi serangan yang membahayakan.
"Mau ke rumah Violla, kenapa mau ikut?"
Ah, aku menutup telingaku. Gadis macam apa yang menjawab pertanyaan seorang pria dengan teriakan? Huh, gadis aneh.
******
Perlu aku luruskan sesuatu. Tentang perasaanku dan hubunganku dengan Fian.
Kami memang sepupu. Tapi sepupu dalam artian aku adalah adik ipar dari sepupunya Fian yang menikah dengan kakak ku. Itu artinya aku mempunyai kesempatan untuk bersamanya kan?
Dan aku bahagia karena masih bisa memperjuangkan perasaanku pada Fian. Walau Fian tak pernah menyadari itu.
Langganan:
Komentar (Atom)

