Sabtu, 17 Juni 2017

Am I Wrong?

Today

Aku begitu mencintainya, dulu.
Ketika pertama kaki melangkah bermetamorfosa menjadi gadis remaja yang lebih matang. Putih abu-abu.
Mata Asia hitam legam seterik matahari saat itu begitu meyakinkan, memaksa hati terketuk dengan perlahan namun pasti. Aku jatuh hati. Senyum itu, malu-malu tapi mau, begitu melekat meyakinkanku bahwa masa SMA ini akan penuh kebahagiaan. Tempat baru, asing, namun kehadirannya membuat perasaan risau itu sedikit menguap. Mengudara dalam asa.
Ku ingat dia sebagai penyemangat baru kala itu di pulau ini. Tempatku menemukannya diantara puluhan lelaki yang menyapa layaknya pujangga. Setelahnya aku tahu bahwa 'aku' tak hanya bagian dari masa indah di tahun terakhirnya sebagai siswa. First Love. Mendewaku bak dewi yang ia takkan mampu hidup tanpaku. Tapi sungguh. Itu semua kini hanya sekedar bagian masa lalu. Kepingan ego yang masih terus mengusik lara di batas kalbu. Kami berpisah. Mungkin aku tahu sedikit risalah perpisahan ini, sebut saja salahku. Aku begitu sibuk mengejar mimpi, acuh tak perduli, meski ada hati yang menunggu penuh harap untuk sekedar ku sapa barang semenit saja. Ia memutuskan untuk menyerah. Pasrah pada pilihanku mengakhiri segalanya.
Seperti ribuan guntur menghadang hatiku saat itu. Hancur. Luluh lantak tak berbentuk.

Sekali lagi aku coba menopang pilu dengan menjunjung segores senyum diantara luka. Berusaha keras menjadi karang yang tegar dan kokoh meski diterjang sang penguasa lautan. Tapi ingatkah hukum pasti ilmu pengetahuan alam? Karang sekalipun akan terkikis jika ombak menerpa terus-menerus, kan? Kinilah kikisan itu mulai terpajang mata. Ketika ku putuskan untuk tetap sendiri tanpa membuka hatiku lagi pada siapapun, ia mengubah arah. Aku sangat mengerti hak untuk memilih pada sebuah penantian bertahan atau mencari alasan bahagianya yang baru, mutlak adalah hak semua orang. Termasuk dia. Yang telah melepas janji bersanding dalam suka duka. Kecewakah aku? Ya. Namun pedih ini tak sebanding kesabarannya padaku dalam kurun waktu 2 tahun bersama. Ia terluka begitu parah hingga mencongkakkan hatinya yang selembut sutra.
Kutipan cinta sederhana, "Hanya orang yang patah hati begitu dalam yang mampu mencintai seseorang begitu cepat setelahnya. Dan saat hatinya pulih. Ia akan tahu bahwa hatinya merindu pada kesalahan yang sama."

Tidak. 

Tidak semudah itu kutipan sepertinya meracuni pikiranku. Aku tegar. Tetap dalam penungguanku yang tak kian menghasil buah. Ia tegaskan untuk lekas menjaga jarak, menjauh dari pandangan bahkan hidupnya. Hatinya telah memiliki kunci yang baru. Menyakitkan? Tidak. Karena aku turut andil dalam sikap menyebalkannya saat ini. Aku mengerti. Aku menerimanya dengan harapan ia akan kembali bahagia meski bukan aku lagi alasannya nanti.

Berbulan-bulan bahkan telah hampir menahun, ketika lubang di hatiku hampir lunas ku tambal sendiri dengan tangisan-tangisan hening sepanjang malam. Pagi ini, pukul 10 pagi, aku melihatnya duduk di tempat yang sama saat ia menyatakan isi hatinya 3 tahun silam. Hatika berdegup memaksa untuk segera pergi dari kesalahan mataku sendiri. Takdir kembali mempertemukan kami sekali lagi. Ia berbusana polo shirt abu-abu yang dulu sangat ku puja ketika ia kenakan warna itu.
Tuhan.. meski jarak kami masih begitu jauh, aku tahu itu dia. Seseorang yang telah lama mampu aku hindari kehadirannya. Ia tak melihatku, entah karena masker udara yang aku kenakan menutupi sebagian wajahku atau memang ia sengaja mengalihkan matanya. Tak masalah bagiku. Selama masih ada senyum disana meski bukan untukku.

Telah begitu keras ku paksa hati untuk kembali jatuh cinta. Setidaknya beberapa kesempatan lagi akan ku tuai bahagiaku sendiri bersama pria lain. Lantas mengapa kau goyahkan benteng yang telah aku bangun sedemikian rupa, Tuhan? Biarkan aku bahagia seperti ia mampu bahagia tanpaku.



 Sabtu, 17 Juni 2017


Note:
Ia yang menunggumu begitu sabar.
Mencintaimu begitu ikhlas.
Berusaha selalu ada dan menyapa.
Jagalah.
Karena nanti saat ia temukan lelah.
Kamu akan merindukan segalanya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar