Kamis, 08 Juni 2017

Mawar Terakhir

"Apa maksudnya?"

"Ini sudah keputusanku fian, aku ingin hubungan kita cukup sampai disini"

"Tapi apa salahku? Apa aku berbuat kesalahan fatal?"

"Tidak, hanya saja kau terlalu baik untukku fian. Aku rasa kau pantas dapatkan yang lebih baik dariku"

Alasan yang klise. Tentu saja ini konyol. Aku tau kau sedang bermain dibelakangku Farel, aku tau itu.

Aku menghela nafas "Baiklah rel, jika itu keputusanmu. Aku harap kau tak akan menyesal"

Farel menatapku iba. Oh tuhan! Dia pikir aku sedih kehilangannya? Aku bahkan tak mencintainya sedikitpun. Biar aku jelaskan, kami berpacaran karena dia yang terus memaksaku. Bukan karena aku membalas cintanya.

*****

Ini adalah sore kelima setelah aku menyandang status yang keramat ini. Jomblo. Ah aku rasa berlebihan menyebutnya keramat.

Ku edarkan pandanganku pada sekeliling kamar. Dan pandanganku terhenti pada foto yang berbingkaikan kayu ukir sederhana. Itu adalah fotoku dan Kino, almarhum adik kecilku.

Dia terlihat tampan dan menggemaskan dengan syal putih yang melingkar dilehernya. Hhh, kau adikku yang tampan kino. Andai saja kau masih hidup, tentu saja aku akan segera mengidap brother complex sekarang.

Aku tersenyum dan memeluk erat foto kami. Mengingat saat-saat bahagia bersama Kino, membuat pipiku merona. Kino memang tipe pria idaman dengan semua yang dia miliki. Dan kau terlalu cepat mengambilnya tuhan, dia bahkan belum genap 11 tahun saat itu.

Tok Tok Tok

"Masuk aja"

"Fian?"

Aku menoleh "Eh mamah, ada apa?"

"Gak ada apa-apasih, mamah cuma iseng kesini"

"Tumben, emang mamah gak kerumah eyang hari ini?"

"Enggak sayang" ucap mamah seraya tersenyum.

Ya, sejak kematian Kino. Mamah memang lebih menyibukan diri dengan mengurusi eyang. Dan aku terbiasa hidup dalam kesendirian dirumah mewahku ini.

"Yaudah sini duduk mah" aku menepuk-nepuk tempat di sampingku. Mempersilahkan mamah untuk duduk disini.

"Gak usah fian, mamah ada acara sebentar lagi. Maafin mamah ya udah sering ninggalin kamu"

Ku anggukan kepala dan memandang mamah bingung. Tak seperti biasanya.

"Berhentilah memikirkan adikmu fian" mamah menatapku tajam, "Kau harus bisa, mamah akan memperkenalkanmu dengan anak teman mamah"

"Maksud mamah?"

"Mamah mulai merasa kamu mencintai almarhum adikmu sendiri. Mamah hanya tak ingin kamu terus-terusan bersedih"

******

Aku menatap bayanganku di cermin. Cukup cantik dan aku rasa mamah tak akan malu dengan penampilanku malam ini.
Gaun jingga dengan sepatu flat senada. Sederhana dan menawan.


 "Wih, cantik banget lo"

"Emang, baru nyadar?" aku merapikan gaunku dan berbalik. Tak perlu menatap wajahnya untuk mengetahui suara siapa itu. Familiar sekali, karena dia sudah bersamaku sejak kami kecil. Fabiano Binar Mahesti. Sepupu tampanku yang tak pernah mengganti statusnya menjadi taken. Bahkan saat umurnya hampir menginjak 21 tahun.

Binar mengerucutkan bibirnya dan berkacak pinggang, "aku menyesal mengatakan kau cantik putri bebek"

"Berhentilah memanggilku dengan sebutan menjijikan itu binar. Atau aku akan membunuhmu" ku tatap sinis matanya.

"Oh gawat, aku membangunkan singa tidur rupanya"

Sontak aku mencubit pinggangnya. Membuat dia meringis kesakitan.

"Kau terlambat binar hahaha" aku menyeringai saat melihat Binar kesakitan.

"Sudahlah ayo turun, tante sudah menunggumu. Kau perlu tau pinggangku terasa dicapit kepiting fian"

"Gak dengarrrr"

Ku lemparkan bantal kearahnya dan berbegas turun ke ruang tamu. Tempat mamah dan papah menunggu.

"Sudah sejam kamu merias fian" tegur mamah

"Hehe maaf mah, tadi gak pede mau keluar kamar" jawabku asal

"Yasudah ayo kita berangkat sekarang, mana binar?" papah menatapku curiga.

Astaga aku lupa! Aku mengunci kamar saat keluar tadi. Dan Binar masih ada di dalam sana.

Setengah berlari ku buka pintu kamar dengan cemas, berharap Binar tak akan menjewerku karena ceroboh menguncinya di dalam.

Krekkk

"Binar!!!!!"

Aku melongo melihatnya sedang asik memainkan game di laptopku.

Dia menoleh dan mengacuhkanku, "Binar ih!!!" aku kembali meneriaki namanya.

"Apasih bawel banget"

Errrr, keterlaluan! Aku menariknya paksa dari kasurku. Mengajaknya segera turun sebelum papah dan mamah menceramahi kami karena terlambat ke acara jamuan makan relasi bisnis papah.

******

"Eh fian, apakah kau yakin tak akan dijodohkan dengan om-om hidung belang?" Binar berbisik padaku.

Aku memelototinya, "orang tuaku bukan orang tua siti nurbaya jika kau lupa"

"hahaha aku hanya bercanda tau"

"sama sekali gak lucu" ketusku

"Huuu ngambek deh"

Makan malam apa ini? Untuk apa papah dan mamah mengajak makhluk astral bodoh seperti Binar ke acara penting kami.

Mobil kami melintas diantara keramaian ibu kota malam. Membuat aku sedikit canggung melihat orang-orang berlalu lalang dengan aktifitas yang tak biasa. Merokok, mabuk, dan memeluk perempuan dengan santainya di pinggir jalan. Apa mereka tak punya adab?, batinku.

Ceklek

"Hoy, ayo turun!" binar mengguncang-guncangkan tubuhku. Seperti baru saja mendapatkan kesadaranku kembali, aku tersenyum kikuk.

"eh hehe iya iya sebentar"

"ngelamunin apa sih?"

Dia menatapku penasaran dan aku hanya menggeleng. Toh percuma saja menjelaskan hal bodoh tadi pada Binar, yang notabene juga berotak udang, hanya akan membuat aku terlihat sama bodohnya dengan dia.

Aku pun memutuskan untuk turun dari mobil sebelum Binar memulai kekepoannya lagi. Sungguh, aku risih jika harus diintrogasi begitu. Apalagi membeberkan semua isi hatiku padanya. Tak akan pernah!

Papah dan mamah masuk terlebih dulu ke dalam rumah mewah dengan dekorasi sederhana ini. Membuat aku harus mengekori mereka agar tak berurusan dengan Binar.

"Aduh!" aku mengeluh kesakitan saat dahiku merasakan benturan yang kuat. Lantas aku mendongakkan kepalaku untuk mengetahui wajah orang yang telah menabrakku.

Deg.

Astaga, dia?

Aku mengerjapkan mataku, "Fa..Farel?"

"Eh, hai fian. Maaf aku gak liat ada kamu tadi, loh kamu ngapain disini?" farel menatapku bingung.

Aku? Entahlah. Aku hanya mematuhi perintah orangtuaku untuk dijodohkan dengan anak teman relasi bisnis papah. Dan sialnya aku bertemu denganmu Farel.

Itulah yang ingin aku katakan padanya. Tapi sejenak aku berpikir, kalau ternyata Farel adalah pria yang akan dijodohkan denganku, bukankah kata-kata tadi sangat keterlaluan?

******

"Oh jadi kamu perempuan yang dimaksud mamah aku, aku gak nyangka loh kalau itu kamu" Farel terlihat antusias.

"Oh ya?"

"Iya, bahkan alasan aku mutusin hubungan kita ya karena ini. Aku bakal dijodohin dan aku takut kamu kecewa nantinya, makanya aku mutusin kamu"

Farel nampak sedih ketika menjelaskan alasannya mengakhiri hubungan kami. Jelas ada pancaran kesakitan di mata hitam pekatnya. Membuat wajahnya terlihat sayu dan tak bersemangat.

Farel menggenggam tanganku dan mengecupnya, "aku senang karena ternyata aku tak harus kehilanganmu fian"

Aku memaksakan senyumku agar tidak menunjukkan ketidak nyamananku padanya. Argh, aku kembali akan terkurung dalam sandiwara ini lagi. Berpura-pura mencintainya untuk yang kedua kalinya. 

Apapun yang Farel katakan saat ini, tetap saja aku tak dapat mencerna dengan baik maksudnya. Dan itu sebabnya aku lebih memilih diam.

"fi, ayo pulang"

Aku merasakan ada yang menarik tanganku, dan sudah bisa dipastikan itu siapa. Binar, ya Binar! Dia sedang memasang tampang kesalnya saat ini, jika kalian ingin tau tentunya.

Entahlah, aku hanya mengikutinya pulang dengan perasaan tak menentu.

******

"Lo mesti tau fi. Adiknya Farel itu nyeremin banget! Masa gue didempetin mulu"

BlaBlaBla. Binar memulai ritual curhatnya yang membuat kepalaku semakin pening. Ih yang benar saja. Emangnya aku tempat sampah apa?

******

Binar POV'

Fian terlihat semakin cantik saat menatapku jengah. Biarlah, aku tak perduli jika harus dicap pria menjengkelkan olehnya. Yang aku tau hanya aku menyayanginya. Dan hatiku berdegup kencang ketika bersamanya.

"Fian? Dengerin gak sih?!" aku mencubit pipinya.

Dia mengerucutkan bibir dan mengelus-ngelus pipinya, "Ah! Sakit kali! Iya didengerin kok. Gak usah pake nyubit"

Tuh, liat. Fian sangat menggemaskan bukan?

"Hehe, maaf deh fi. Abis lo ngelamun aja dari tadi"

"Gue gak ngelamun"

"Jelas-jelas tadi lo ngelamun. Pakai ngeles lagi"

"Sok tau!"

Fian melempariku dengan bantal dan pergi begitu saja. Itulah kebiasaan menyebalkan yang Fian miliki. Dan aku selalu menjadi korban setianya.

"Eh fiii, lo mau kemana?" aku mencoba bangkit setelah memastikan tak ada lagi serangan yang membahayakan.

"Mau ke rumah Violla, kenapa mau ikut?"

Ah, aku menutup telingaku. Gadis macam apa yang menjawab pertanyaan seorang pria dengan teriakan? Huh, gadis aneh.

******

Perlu aku luruskan sesuatu. Tentang perasaanku dan hubunganku dengan Fian.

Kami memang sepupu. Tapi sepupu dalam artian aku adalah adik ipar dari sepupunya Fian yang menikah dengan kakak ku. Itu artinya aku mempunyai kesempatan untuk bersamanya kan?

Dan aku bahagia karena masih bisa memperjuangkan perasaanku pada Fian. Walau Fian tak pernah menyadari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar